Sabtu, 25 November 2017

KUTUNGGU KHITBAHMU - Cerpen



Disusun oleh : Suci Hana Fatin





Maryam, itulah nama yang diberikan kedua orangtuaku. Aku sangat menyukai nama tersebut. Karena hanya dengan nama itu, aku bisa merasakan kasih sayang ayah dan ibu walaupun mereka telah tiada. Sekarang, aku hidup seorang diri dengan kegiatan sehari-hari menjadi seorang guru ngaji.

Teng! Tong! (bunyi bel rumahku) ku buka pintu secara perlahan, dengan memasang senyuman manis dan menjawab salam. Entah mengapa mataku langsung tertunduk kebawah, ketika yang datang adalah seorang ikhwan yang tidak aku kenal. Ikhwan tersebut tersenyum dan memperkenalkan diri, namanya adalah Malik tetangga baru disebelah rumahku. Aku masih tertunduk dan bingung apa yang harus aku lakukan, tak lama allahuakbar!allahuakbar! (Adzan ashar berkumandang) membuatku terbebas dari ikhwan tersebut.

Kututup pintu perlahan dan segera berwudhu untuk melaksanakan sholat. Terangkat tanganku untuk memohon kepada sang pemilik hati, sang pembolak balik hati. Siapakah dia ya Allah? Mengapa engkau mempertemukanku dengannya? Jika dia adalah seseorang yang bisa membuatku lebih dekat dengamu ya Allah, maka dekatkanlah aku dengannya. Tapi jika tidak maka sebaliknya. Karena aku yakin semua yang engkau berikan adalah yang terbaik untukku. Usapan tangan perlahan pada wajah menandakan berharapnya doaku terkabul.
Ku lihat jam menandakan pukul 4 sore. Hijab telah ku gunakan, pertanda kesiapan diriku menuju masijd untuk mengajar ngaji. Ketika ku membuka pintu, si ikhwan itu ada lagi. “Maaf akhi, sebenarnya ada apa?” Ucap ku.
Pipi nya memerah, matanya yang menunduk kebawah, dan senyumannya yang begitu ramah. Membuatku semakin bertanya. Tapi entah mengapa, dia langsung pergi begitu saja. Kulupakan kejadian tadi, dan bergegas menuju masjid. Jaraknya tidaklah jauh dari rumahku, maka itu aku memilih untuk jalan.
****

Ku tersenyum melihat tawa bahagia anak-anak, aku panggil mereka dan ku ajak untuk mulai mengaji. Kebahagian kudapatkan disini walaupun aku hidup seorang diri, tapi aku tak pernah merasa kesepian. Karena hatiku penuh dengan suara suara tawa mereka dan indahnya lantunan ayat yang mereka bacakan. Tak lama datang seorang ibu yang mencari anaknya, namanya adalah Ibu Lina. Anaknya adalah muridku ia bernama Dinda. Dinda ingin sekali ikut mengaji tapi Ibu Lina tidak pernah mengijinkan. Aku mencoba membujuk Ibu Lina tapi, tetap saja Ibu Lina menyuruh Dinda untuk pulang dan tidak mengijinkan Dinda untuk mengaji lagi. Suasana menjadi tegang, aku pun mencoba merubah suasana dengan bercerita lucu kepada anak-anak. Disitu aku bercerita tentang ikhwan yang terpeleset ketika lantai sedang dipel. Anak –anak tidak ada yang tertawa, tapi tak lama ada seorang ikhwan yang terpeleset. Semuanya menertawai ikhwan tersebut. Aku pun ingin ikut tertawa tapi, aku mengajarkan kepada anak-anak jika ada yang kesulitan harus ditolong bukan ditertawakan. Anak-anak terbangun dan menolong ikhwan tersebut. 
Subhanallah apakah dia adalah keturunan Nabi Yusuf, ciptaan Allah yang begitu tampan hingga membuat semua mata menuju padanya. Ssttt! Sudah tiga detik aku melihatnya. Dia tersenyum kepadaku, dan berterimakasih karena telah menolongnya. Walaupun yang menolong bukan aku, tapi dia berterimakasih padaku. Rasanya hati ini ingin meleleh melihat senyumannya yang terus terbayang bayang. Anak-anak menertawaiku karena melihat aku yang tersipu malu. Pipiku kemerahan, dan senyuman yang begitu lebar, dengan pandangan kebawah. Astaghfirullah! ku lupakan ikhwan tampan tadi, dan melanjutkan mengajar ngaji.
****

Jam menunjukan pukul 5 tepat, selesailah untuk mengajar ngaji. Alhamdulillah ku ucapkan karena hari ini, aku masih bisa menyebarkan kebaikan kepada sesama. Ketika di jalan menuju rumahku, Ibu Lina memanggil dan bertanya tentang apa arti khitbah. Aku menjelaskan bahwa khitbah adalah lamaran. Ibu Lina menceritakan tentang anaknya yang baru datang dari kampung ingin mengkhitbah seorang perempuan, dan Ibu Lina tidak tau siapa perempuan itu.
“Allah pasti akan memberikan yang terbaik untuk anak ibu,” Ucap ku. Ibu Lina pun mengangguk dan setelah itu pergi begitu saja meninggalkan ku.

Ketika sampai dirumah aku melihat  ada seorang ikhwan yang menunggu ku. Ternyata itu orang yang tadi lagi, iya si Malik. “Maaf, ukhti bukan bermaksud ganggu. Sebenarnya dari tadi aku kesini karena ingin mengundang ukhti untuk makan malam bersama keluargaku dirumah,” Ucapnya. Aku pun bingung mau menjawab apa, tapi dalam hatiku mengucap insyallah aku akan datang. Ikhwan tersebut pergi, dan aku masuk kedalam rumah. Ketika membuka pintu, ada sebuah surat dibawah lantai. Ku ulurkan tangan untuk mengambilnya. Surat bewarna putih yang dibegitu menawan. Ku buka secara perlahan. Ku baca dengan senyuman manis, karena rangkaian kata yang begitu menarik.

”Sungguh indah matamu, ketika engkau menatapku. Hijabmu yang terulur panjang kebawah menutupi aurat tubuhmu. Menandakan dirimu sebagai mutiara yang terpancar karena begitu indah akhlaqmu. Aku yakin Allah mempertemukan kita, pasti karena ada maksud tertentu. Dan jika engkau adalah jodoh yang tertulis di lauhul mahfudz. Maka tunggu aku yang akan mengkhitbah mu.”

Aku sangat menyukai kata-kata ini. Dan membuatku berharap kepadanya, padahal aku tidak tau siapa dia. Tapi, “Akan kutunggu khitbahmu,” Ucapku dalam hati.
Ku bersiap untuk sholat maghrib, setelah itu aku akan datang ke undangan makan malam si Malik. Ku langkahkan kaki dengan mengucap basmalah, semoga apa yang aku kerjakan ini menjadi berkah, amiiin.
****

Ku ketuk pintu dengan mengucap salam. “Wa’alaikumsalam,” Dijawab seorang ibu berhijab yang ramah.  Ibu itu menyuruh aku masuk, dan mengajak ku kemeja makan. Disana aku melihat Malik, dia tersenyum dan menunduk. Ibu itu memperkenalkan semua keluarganya kepadaku. Dan nama dia adalah Ibu Lia, suaminya bernama Pak Abdul, memiliki dua anak yaitu Malik dan Ridwan. Pak Abdul adalah guru ngajiku ketika aku masih berumur 9 tahun. Tak kusangka Allah mempertemukan aku lagi dengannya. Dan Ibu Lia ini adalah adiknya Ibu Lina. Sungguh dunia ini begitu sempit. Karena sudah malam aku pun ijin untuk pulang. Tapi, Pak Abdul mengajak aku untuk sholat isya berjamaah, aku pun mengangguk dan ikut sholat isya bersama mereka. Setelah itu aku melihat si Malik sedang berbisik dengan ayahnya. Aku mulai mencurigai mereka. Pak Abdul memanggilku, rasanya ini ada yang penting dan serius.
“Begini Maryam, aku sudah mengenal kamu seperti apa, bagaimana sifat dan keseharian kamu. Jadi, Bapak sebenarnya ingin bertanya tentang kesiapan kamu untuk berumah tangga? Dan Malikm anakku ingin bisa menganjaga dirimu. Bagaimana Maryam?” Ucap Pak Abdul. Aku bingung akan menjawab apa, karena aku masih berharap kepada ikhwan yang menulis surat menawan itu. Astaghfirullah! Kenapa aku memikirkan itu, semua memandangku dengan wajah berharap agar aku menjawabnya. “Maaf Pak aku belum bisa menjawabnya, ini sudah malam aku ingin istirahat,” Ucapku dengan wajah tertunduk. Ku meninggalkan rumah Pak Abdul dengan tak lupa mengucap salam.
*****

Rintikan hujan seakan mengetahui perasaanku yang sedang bersedih, angin  malam yang berhembus seakan kacaunya hatiku saat ini.Rasanya hati ini ingin menangis. Bingung, gelisah, risau dan entah apa yang harus kuperbuat sekarang. Apakah aku akan menunggu ikhwan pengirim surat menawan itu, atau aku harus menerima lamaran dari Malik. Sudahlah aku tak ingin larut dalam kebingungan, lebih aku istirahat. Insyaallah Allah pasti akan memberikan petunjuk.

Adzan subuh berkumandang, aku terbangun untuk melaksanakan sholat subuh. Hati ini mulai tenang, kupasrahkan semuanya kepada sang pemilik hati. Tak ku pikirkan lagi apa yang terjadi kemarin. Ku buka jendela kamarku, dan ku hirup udara segar yang begitu sejuk. Disambut keceriaan matahari yang muncul, membuat burung burung bernyanyi gembira. Membuat tak sabar diriku untuk keluar rumah. “Bismillahirrahmanirrahim,” Ucapku sambil membuka pintu. Aku terkejut ketika melihat ada seorang ikhwan yang berdiri didepanku. Sudah kuduga dia adalah Malik, hari ini dia memberikan bunga mawar putih kepadaku. Ku terima bunga tersebut, setelah itu ia pergi dengan senyuman manisnya. Entah mengapa, tak ada rasa yang berbeda ketika aku bersamanya. Tapi, aku akan mencoba untuk bisa menghargai kebaikannya selama ini padaku.  
Ku terdiam, melihat mawar putih ini. Sampai aku tak sadar, bahwa ada yang melemparkan surat kepadaku. Surat putih yang menawan, tepat jatuh dibawah kakiku. Ku lihat sekeliling, dan ku ulurkan tangan untuk mengambil surat menawan itu.

“Maafkan aku, yang telah membuatmu menunggu. Waktu yang terus berjalan bukanlah sebagai penghalang pertemuan. Tak ada yang menjadi penghalang diantara kita. Karena doa yang membuat kita semakin dekat. Dan Allah yang terus memberikan jalan untuk pertemuan kita. Tunggulah aku yang akan datang mengkhitbahmu”

Pipiku memerah setiap membaca surat menawan ini. Rasa penasaran pun muncul pada diriku, dan terus bertanya siapakah yang mengirim surat ini. Ku melihat jam menunjukan pukul 8 pagi. Teng! Tong! (bel rumahku berbunyi). “Siapa lagi yang datang,” Pikirku. Kubuka pintu perlahan, dan ku melihat banyak orang. Disana ada Ibu Lina, Dinda, dan akhi yang tadi pagi itu. “Assalamualaikum,” Ucap Ibu Lina. Ku jawab salam Ibu Lina, dan ku persilahkan Ibu Lina dan yang lainnya masuk. Ibu Lina menjelaskan tentang kedatangannya, dan memperkenalkan anaknya yang bernama Yusuf.
“Yusuf? Akhi yang terpeleset itu? Dan akhi yang ibu lina ceritakan waktu itu yang ingin mengkhitbah seorang gadis? Jangan jangan?” Pikirku dengan senyuman malu. Dan ternyata pikiran ku benar, Yusuf ingin mengkhitbahku. Akupun bertanya apakah dia yang mengirim surat putih menawan itu. Ternyata itu juga benar. Tanpa pikir panjang aku menerima khitbah dari Yusuf.
Tiba- tiba Malik dan keluarganya datang kerumahku. Aku pun terkejut melihat Malik dan keluarganya. Entah apa yang harus aku katakan, karena aku sudah menerima lamaran dari Yusuf. “Maaf Malik, aku tidak bisa menerima lamaranmu. Karena dalam hatiku, dan karena Allah aku lebih memilih Yusuf,” Ucapku. Malik tidak tersenyum kali ini, dia langsung pergi begitu saja dengan wajah yang kesal.
Ibu Lina dan Yusufpun bingung sebenarnya apa yang telah terjadi. Aku pun menceritakan semuanya, wajah Ibu Lina berubah setelah mendengar ceritaku. Ia terbangun dari duduknya, dan membatalkan lamarannya. Aku pun terkejut dan sedih mendengarnya, Yusuf memohon kepada Ibunya untuk tidak membatalkannya. Tapi tetap saja, Ibu Lina tidak mau menuruti perkataan Yusuf. Ibu Lina pun pergi begitu saja.
“Maafkan aku Maryam, aku yang telah membuatmu menunggu. Dan aku yang telah membuat semuanya kacau seperti ini. Aku mencintaimu karena Allah, karena kebaikanmu dalam mendidik murid muridmu. Sehingga mereka bisa membaca ayat-ayat Allah. Engkau adalah wanita yang selau ada dalam doaku. Dan aku yakin Allah akan mempersatukan kita suatu saat nanti,” Ucap Yusuf dengan wajah yang sedih.  Tetesan air mata yang terus berjatuhan ketika aku mendengar perkataan Yusuf. Ia memberikan tisu kepadaku, dan menyuruhku untuk tidak menangis lagi.
“Janganlah engkau menangis Maryam, air matamu terlalu mahal untuk laki-laki sepertiku, yang tidak bisa mencontohkan sikap Rasulullah. Lebih baik sekarang kamu berdoa kepada Allah untuk diberikan jalan yang terbaik. Dan jangan lupa sisipkan namaku di setiap doamu,” Ucap Yusuf dan setelah itu ia pergi.
Hatiku hancur berkeping-keping. Dan yang kuharap sekarang hanya Allah yang selalu ada bersamaku, dan selalu menolongku. Ku belajar untuk melupakan kejadian hari ini, dan melanjutkan aktifitas seperti biasanya.
****


Jam menunjukan tepat pukul 4. Walaupun hatiku belum tersusun seutuhnya, tapi aku harus tetap ke Masjid untuk mengajar ngaji. Dan ku berharap bisa mendapat kebahagiaan disana ketika melihat anak-anak. Sesampai di Masjid, terasa ada yang berbeda. Karena Masjid begitu sepi, bahkan tak ada satupun anak-anak yang datang. Tapi, aku melihat Yusuf yang terpeleset ditempat yang sama seperti waktu itu. Aku pun tertawa dan munculah anak-anak yang ikut tertawa dibelakangku. Ibu Lina yang muncul di belakang Yusuf mengahampiriku, aku pun tegang dan takut apa lagi yang akan terjadi. “Maryam, maafkan Ibu atas perbuatan tadi. Dan maafkan Ibu yang tidak mengijinkan Dinda belajar mengaji bersama kamu. Sekarang Ibu menyetujui hubungan kalian, dan kalian bisa menentukan tanggal pernikahan kalian sekarang,” Ucap Ibu Lina dengan wajah bahagia.
Aku dan Yusuf yang saling pandang-memandang. Dengan senyuman dan pipi kemerahan tersipu malu. Membuat suasana heboh sorakan anak-anak. Alhamdulillah kuucap dalam hati, karena engkau telah mempertemukan aku dengan jodoh yang tertulis di lauhul mahfudz. Semoga aku dan Yusuf akan terus bersama sampai di surgamu nanti ya Allah, amiiiin.
 Cerita ini terinspirasi dari pengalaman seseorang dan tambahan khayalanku semata.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KUTUNGGU KHITBAHMU - Cerpen

Disusun oleh : Suci Hana Fatin M aryam, itulah nama yang diberikan kedua orangtuaku. Aku sangat menyukai nama tersebut. ...