Disusun oleh : Suci Hana Fatin
Maryam,
itulah nama yang diberikan kedua orangtuaku. Aku sangat menyukai nama tersebut.
Karena hanya dengan nama itu, aku bisa merasakan kasih sayang ayah dan ibu
walaupun mereka telah tiada. Sekarang, aku hidup seorang diri dengan kegiatan
sehari-hari menjadi seorang guru ngaji.
Teng! Tong! (bunyi bel
rumahku) ku buka pintu secara perlahan, dengan memasang senyuman manis dan
menjawab salam. Entah mengapa mataku langsung tertunduk kebawah, ketika yang
datang adalah seorang ikhwan yang tidak aku kenal. Ikhwan tersebut tersenyum
dan memperkenalkan diri, namanya adalah Malik tetangga baru disebelah rumahku.
Aku masih tertunduk dan bingung apa yang harus aku lakukan, tak lama allahuakbar!allahuakbar!
(Adzan ashar berkumandang) membuatku terbebas dari ikhwan tersebut.
Kututup pintu perlahan dan
segera berwudhu untuk melaksanakan sholat. Terangkat tanganku untuk memohon
kepada sang pemilik hati, sang pembolak balik hati. Siapakah dia ya Allah?
Mengapa engkau mempertemukanku dengannya? Jika dia adalah seseorang yang bisa
membuatku lebih dekat dengamu ya Allah, maka dekatkanlah aku dengannya. Tapi
jika tidak maka sebaliknya. Karena aku yakin semua yang engkau berikan adalah
yang terbaik untukku. Usapan tangan perlahan pada wajah menandakan berharapnya
doaku terkabul.
Ku lihat jam menandakan
pukul 4 sore. Hijab telah ku gunakan, pertanda kesiapan diriku menuju masijd
untuk mengajar ngaji. Ketika ku membuka pintu, si ikhwan itu ada lagi. “Maaf
akhi, sebenarnya ada apa?” Ucap ku.
Pipi nya memerah, matanya
yang menunduk kebawah, dan senyumannya yang begitu ramah. Membuatku semakin
bertanya. Tapi entah mengapa, dia langsung pergi begitu saja. Kulupakan
kejadian tadi, dan bergegas menuju masjid. Jaraknya tidaklah jauh dari rumahku,
maka itu aku memilih untuk jalan.
****
Ku tersenyum melihat tawa
bahagia anak-anak, aku panggil mereka dan ku ajak untuk mulai mengaji. Kebahagian
kudapatkan disini walaupun aku hidup seorang diri, tapi aku tak pernah merasa
kesepian. Karena hatiku penuh dengan suara suara tawa mereka dan indahnya
lantunan ayat yang mereka bacakan. Tak lama datang seorang ibu yang mencari
anaknya, namanya adalah Ibu Lina. Anaknya adalah muridku ia bernama Dinda.
Dinda ingin sekali ikut mengaji tapi Ibu Lina tidak pernah mengijinkan. Aku
mencoba membujuk Ibu Lina tapi, tetap saja Ibu Lina menyuruh Dinda untuk pulang
dan tidak mengijinkan Dinda untuk mengaji lagi. Suasana menjadi tegang, aku pun
mencoba merubah suasana dengan bercerita lucu kepada anak-anak. Disitu aku
bercerita tentang ikhwan yang terpeleset ketika lantai sedang dipel. Anak –anak
tidak ada yang tertawa, tapi tak lama ada seorang ikhwan yang terpeleset.
Semuanya menertawai ikhwan tersebut. Aku pun ingin ikut tertawa tapi, aku
mengajarkan kepada anak-anak jika ada yang kesulitan harus ditolong bukan
ditertawakan. Anak-anak terbangun dan menolong ikhwan tersebut.
Subhanallah apakah dia
adalah keturunan Nabi Yusuf, ciptaan Allah yang begitu tampan hingga membuat
semua mata menuju padanya. Ssttt! Sudah tiga detik aku melihatnya. Dia
tersenyum kepadaku, dan berterimakasih karena telah menolongnya. Walaupun yang
menolong bukan aku, tapi dia berterimakasih padaku. Rasanya hati ini ingin
meleleh melihat senyumannya yang terus terbayang bayang. Anak-anak menertawaiku
karena melihat aku yang tersipu malu. Pipiku kemerahan, dan senyuman yang
begitu lebar, dengan pandangan kebawah. Astaghfirullah! ku lupakan ikhwan
tampan tadi, dan melanjutkan mengajar ngaji.
****
Jam menunjukan pukul 5
tepat, selesailah untuk mengajar ngaji. Alhamdulillah ku ucapkan karena hari
ini, aku masih bisa menyebarkan kebaikan kepada sesama. Ketika di jalan menuju
rumahku, Ibu Lina memanggil dan bertanya tentang apa arti khitbah. Aku
menjelaskan bahwa khitbah adalah lamaran. Ibu Lina menceritakan tentang anaknya
yang baru datang dari kampung ingin mengkhitbah seorang perempuan, dan Ibu Lina
tidak tau siapa perempuan itu.
“Allah pasti akan memberikan
yang terbaik untuk anak ibu,” Ucap ku. Ibu Lina pun mengangguk dan setelah itu
pergi begitu saja meninggalkan ku.
Ketika sampai dirumah aku
melihat ada seorang ikhwan yang menunggu
ku. Ternyata itu orang yang tadi lagi, iya si Malik. “Maaf, ukhti bukan
bermaksud ganggu. Sebenarnya dari tadi aku kesini karena ingin mengundang ukhti
untuk makan malam bersama keluargaku dirumah,” Ucapnya. Aku pun bingung mau
menjawab apa, tapi dalam hatiku mengucap insyallah aku akan datang. Ikhwan
tersebut pergi, dan aku masuk kedalam rumah. Ketika membuka pintu, ada sebuah
surat dibawah lantai. Ku ulurkan tangan untuk mengambilnya. Surat bewarna putih
yang dibegitu menawan. Ku buka secara perlahan. Ku baca dengan senyuman manis,
karena rangkaian kata yang begitu menarik.
”Sungguh
indah matamu, ketika engkau menatapku. Hijabmu yang terulur panjang kebawah
menutupi aurat tubuhmu. Menandakan dirimu sebagai mutiara yang terpancar karena
begitu indah akhlaqmu. Aku yakin Allah mempertemukan kita, pasti karena ada
maksud tertentu. Dan jika engkau adalah jodoh yang tertulis di lauhul mahfudz.
Maka tunggu aku yang akan mengkhitbah mu.”
Aku sangat menyukai kata-kata
ini. Dan membuatku berharap kepadanya, padahal aku tidak tau siapa dia. Tapi,
“Akan kutunggu khitbahmu,” Ucapku dalam hati.
Ku bersiap untuk sholat
maghrib, setelah itu aku akan datang ke undangan makan malam si Malik. Ku
langkahkan kaki dengan mengucap basmalah, semoga apa yang aku kerjakan ini
menjadi berkah, amiiin.
****
Ku ketuk pintu dengan
mengucap salam. “Wa’alaikumsalam,” Dijawab seorang ibu berhijab yang
ramah. Ibu itu menyuruh aku masuk, dan
mengajak ku kemeja makan. Disana aku melihat Malik, dia tersenyum dan menunduk.
Ibu itu memperkenalkan semua keluarganya kepadaku. Dan nama dia adalah Ibu Lia,
suaminya bernama Pak Abdul, memiliki dua anak yaitu Malik dan Ridwan. Pak Abdul
adalah guru ngajiku ketika aku masih berumur 9 tahun. Tak kusangka Allah
mempertemukan aku lagi dengannya. Dan Ibu Lia ini adalah adiknya Ibu Lina.
Sungguh dunia ini begitu sempit. Karena sudah malam aku pun ijin untuk pulang.
Tapi, Pak Abdul mengajak aku untuk sholat isya berjamaah, aku pun mengangguk
dan ikut sholat isya bersama mereka. Setelah itu aku melihat si Malik sedang
berbisik dengan ayahnya. Aku mulai mencurigai mereka. Pak Abdul memanggilku,
rasanya ini ada yang penting dan serius.
“Begini Maryam, aku sudah
mengenal kamu seperti apa, bagaimana sifat dan keseharian kamu. Jadi, Bapak
sebenarnya ingin bertanya tentang kesiapan kamu untuk berumah tangga? Dan
Malikm anakku ingin bisa menganjaga dirimu. Bagaimana Maryam?” Ucap Pak Abdul.
Aku bingung akan menjawab apa, karena aku masih berharap kepada ikhwan yang
menulis surat menawan itu. Astaghfirullah! Kenapa aku memikirkan itu, semua
memandangku dengan wajah berharap agar aku menjawabnya. “Maaf Pak aku belum
bisa menjawabnya, ini sudah malam aku ingin istirahat,” Ucapku dengan wajah
tertunduk. Ku meninggalkan rumah Pak Abdul dengan tak lupa mengucap salam.
*****
Rintikan hujan seakan
mengetahui perasaanku yang sedang bersedih, angin malam yang berhembus seakan kacaunya hatiku
saat ini.Rasanya hati ini ingin menangis. Bingung, gelisah, risau dan entah apa
yang harus kuperbuat sekarang. Apakah aku akan menunggu ikhwan pengirim surat
menawan itu, atau aku harus menerima lamaran dari Malik. Sudahlah aku tak ingin
larut dalam kebingungan, lebih aku istirahat. Insyaallah Allah pasti akan
memberikan petunjuk.
Adzan subuh berkumandang,
aku terbangun untuk melaksanakan sholat subuh. Hati ini mulai tenang,
kupasrahkan semuanya kepada sang pemilik hati. Tak ku pikirkan lagi apa yang
terjadi kemarin. Ku buka jendela kamarku, dan ku hirup udara segar yang begitu
sejuk. Disambut keceriaan matahari yang muncul, membuat burung burung bernyanyi
gembira. Membuat tak sabar diriku untuk keluar rumah. “Bismillahirrahmanirrahim,”
Ucapku sambil membuka pintu. Aku terkejut ketika melihat ada seorang ikhwan
yang berdiri didepanku. Sudah kuduga dia adalah Malik, hari ini dia memberikan
bunga mawar putih kepadaku. Ku terima bunga tersebut, setelah itu ia pergi dengan
senyuman manisnya. Entah mengapa, tak ada rasa yang berbeda ketika aku
bersamanya. Tapi, aku akan mencoba untuk bisa menghargai kebaikannya selama ini
padaku.
Ku terdiam, melihat mawar
putih ini. Sampai aku tak sadar, bahwa ada yang melemparkan surat kepadaku.
Surat putih yang menawan, tepat jatuh dibawah kakiku. Ku lihat sekeliling, dan
ku ulurkan tangan untuk mengambil surat menawan itu.
“Maafkan
aku, yang telah membuatmu menunggu. Waktu yang terus berjalan bukanlah sebagai
penghalang pertemuan. Tak ada yang menjadi penghalang diantara kita. Karena doa
yang membuat kita semakin dekat. Dan Allah yang terus memberikan jalan untuk
pertemuan kita. Tunggulah aku yang akan datang mengkhitbahmu”
Pipiku memerah setiap
membaca surat menawan ini. Rasa penasaran pun muncul pada diriku, dan terus
bertanya siapakah yang mengirim surat ini. Ku melihat jam menunjukan pukul 8
pagi. Teng! Tong! (bel rumahku berbunyi). “Siapa lagi yang datang,” Pikirku. Kubuka
pintu perlahan, dan ku melihat banyak orang. Disana ada Ibu Lina, Dinda, dan
akhi yang tadi pagi itu. “Assalamualaikum,” Ucap Ibu Lina. Ku jawab salam Ibu
Lina, dan ku persilahkan Ibu Lina dan yang lainnya masuk. Ibu Lina menjelaskan
tentang kedatangannya, dan memperkenalkan anaknya yang bernama Yusuf.
“Yusuf? Akhi yang terpeleset
itu? Dan akhi yang ibu lina ceritakan waktu itu yang ingin mengkhitbah seorang
gadis? Jangan jangan?” Pikirku dengan senyuman malu. Dan ternyata pikiran ku
benar, Yusuf ingin mengkhitbahku. Akupun bertanya apakah dia yang mengirim
surat putih menawan itu. Ternyata itu juga benar. Tanpa pikir panjang aku
menerima khitbah dari Yusuf.
Tiba- tiba Malik dan
keluarganya datang kerumahku. Aku pun terkejut melihat Malik dan keluarganya.
Entah apa yang harus aku katakan, karena aku sudah menerima lamaran dari Yusuf.
“Maaf Malik, aku tidak bisa menerima lamaranmu. Karena dalam hatiku, dan karena
Allah aku lebih memilih Yusuf,” Ucapku. Malik tidak tersenyum kali ini, dia
langsung pergi begitu saja dengan wajah yang kesal.
Ibu Lina dan Yusufpun
bingung sebenarnya apa yang telah terjadi. Aku pun menceritakan semuanya, wajah
Ibu Lina berubah setelah mendengar ceritaku. Ia terbangun dari duduknya, dan
membatalkan lamarannya. Aku pun terkejut dan sedih mendengarnya, Yusuf memohon
kepada Ibunya untuk tidak membatalkannya. Tapi tetap saja, Ibu Lina tidak mau
menuruti perkataan Yusuf. Ibu Lina pun pergi begitu saja.
“Maafkan aku Maryam, aku
yang telah membuatmu menunggu. Dan aku yang telah membuat semuanya kacau
seperti ini. Aku mencintaimu karena Allah, karena kebaikanmu dalam mendidik
murid muridmu. Sehingga mereka bisa membaca ayat-ayat Allah. Engkau adalah
wanita yang selau ada dalam doaku. Dan aku yakin Allah akan mempersatukan kita suatu
saat nanti,” Ucap Yusuf dengan wajah yang sedih. Tetesan air mata yang terus berjatuhan ketika
aku mendengar perkataan Yusuf. Ia memberikan tisu kepadaku, dan menyuruhku
untuk tidak menangis lagi.
“Janganlah engkau menangis
Maryam, air matamu terlalu mahal untuk laki-laki sepertiku, yang tidak bisa
mencontohkan sikap Rasulullah. Lebih baik sekarang kamu berdoa kepada Allah
untuk diberikan jalan yang terbaik. Dan jangan lupa sisipkan namaku di setiap
doamu,” Ucap Yusuf dan setelah itu ia pergi.
Hatiku hancur
berkeping-keping. Dan yang kuharap sekarang hanya Allah yang selalu ada
bersamaku, dan selalu menolongku. Ku belajar untuk melupakan kejadian hari ini,
dan melanjutkan aktifitas seperti biasanya.
****
Jam menunjukan tepat pukul
4. Walaupun hatiku belum tersusun seutuhnya, tapi aku harus tetap ke Masjid
untuk mengajar ngaji. Dan ku berharap bisa mendapat kebahagiaan disana ketika
melihat anak-anak. Sesampai di Masjid, terasa ada yang berbeda. Karena Masjid
begitu sepi, bahkan tak ada satupun anak-anak yang datang. Tapi, aku melihat
Yusuf yang terpeleset ditempat yang sama seperti waktu itu. Aku pun tertawa dan
munculah anak-anak yang ikut tertawa dibelakangku. Ibu Lina yang muncul di
belakang Yusuf mengahampiriku, aku pun tegang dan takut apa lagi yang akan
terjadi. “Maryam, maafkan Ibu atas perbuatan tadi. Dan maafkan Ibu yang tidak
mengijinkan Dinda belajar mengaji bersama kamu. Sekarang Ibu menyetujui
hubungan kalian, dan kalian bisa menentukan tanggal pernikahan kalian
sekarang,” Ucap Ibu Lina dengan wajah bahagia.
Aku dan Yusuf yang saling
pandang-memandang. Dengan senyuman dan pipi kemerahan tersipu malu. Membuat
suasana heboh sorakan anak-anak. Alhamdulillah kuucap dalam hati, karena engkau
telah mempertemukan aku dengan jodoh yang tertulis di lauhul mahfudz. Semoga
aku dan Yusuf akan terus bersama sampai di surgamu nanti ya Allah, amiiiin.
Cerita ini terinspirasi dari
pengalaman seseorang dan tambahan khayalanku semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar